Triangulasi dalam Penelitian Kualitatif

 Oleh: Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, M. Si

Salah satu pertanyaan penting dan sering muncul dari para peneliti dan mahasiswa yang sedang melakukan penelitian adalah masalah triangulasi. Banyak yang masih belum memahami  makna dan  tujuan tiangulasi dalam penelitian, khususnya penelitian kualitatif. Karena kurangnya pemahaman itu, sering kali muncul persoalan tidak saja antara mahasiswa dan dosen dalam proses pembimbingan, tetapi juga antar dosen pada saat menguji skripsi, tesis, dan  disertasi.  Hal ini tidak akan terjadi jika masing-masing memiliki pemahaman yang cukup mengenai triangulasi. Umumnya pertanyaan berkisar apakah triangulasi perlu dalam penelitian dan jika perlu, bagaimana melakukannya. Berikut uraian ringkasnya yang disari dari berbagai sumber dan pengalaman penulis selama ini.

Triangulasi pada hakikatnya merupakan pendekatan multimetode yang dilakukan peneliti pada saat mengumpulkan  dan menganalisis data. Ide dasarnya adalah bahwa fenomena yang diteliti dapat dipahami dengan baik sehingga diperoleh kebenaran tingkat tinggi jika didekati dari berbagai sudut pandang. Memotret fenomena tunggal dari sudut pandang yang berbeda-beda akan memungkinkan diperoleh tingkat kebenaran yang handal.  Karena itu, triangulasi ialah usaha mengecek kebenaran data atau informasi yang diperoleh peneliti dari berbagai sudut pandang yang berbeda dengan cara mengurangi sebanyak  mungkin bias  yang terjadi pada saat pengumpulan dan analisis data.

Sebagaimana diketahui dalam penelitian kualitatif peneliti itu sendiri  merupakan instrumen utamanya. Karena itu, kualitas penelitian kualitatif sangat tergantung pada kualitas diri penelitinya, termasuk pengalamannya melakukan penelitian merupakan sesuatu yang sangat berharga. Semakin banyak pengalaman seseorang dalam melakukan penelitian, semakin peka memahami gejala atau fenomena yang diteliti. Namun demikian, sebagai manusia, seorang peneliti sulit terhindar dari bias atau subjektivitas. Karena itu, tugas peneliti mengurangi semaksimal mungkin bias yang terjadi agar diperoleh kebenaran utuh. Pada titik ini para penganut kaum positivis meragukan tingkat ke’ilmiah’an  penelitan kualitatif. Malah ada yang secara  ekstrim menganggap penelitian kualitatif tidak ilmiah.

Sejarahnya, triangulasi merupakan teknik yang dipakai untuk melakukan survei dari tanah daratan dan laut untuk menentukan  satu titik tertentu  dengan menggunakan beberapa cara yang berbeda. Ternyata teknik semacam ini terbukti mampu mengurangi bias dan kekurangan yang diakibatkan oleh pengukuran dengan satu metode atau cara saja. Pada masa 1950’an hingga 1960’an, metode tringulasi tersebut mulai dipakai  dalam penelitian kualitatif sebagai cara untuk meningkatkan pengukuran validitas dan memperkuat kredibilitas temuan penelitian dengan cara membandingkannya dengan  berbagai pendekatan yang berbeda.

Karena menggunakan terminologi dan cara yang mirip dengan model paradigma positivistik (kuantitatif), seperti pengukuran dan validitas, triangulasi mengundang perdebatan cukup panjang di antara para ahli penelitian kualitatif sendiri. Alasannya, selain mirip dengan cara dan metode penelitian kuantitatif, metode yang berbeda-beda memang dapat dipakai untuk mengukur aspek-aspek yang berbeda, tetapi toh juga akan menghasilkan data yang berbeda-beda pula. Kendati terjadi perdebatan sengit, tetapi seiring dengan perjalanan waktu, metode triangulasi semakin lazim dipakai dalam penelitian kualitatif karena terbukti mampu mengurangi bias dan meningkatkan kredibilitas penelitian.

Dalam berbagai karyanya,  Norman K. Denkin  mendefinisikan triangulasi sebagai gabungan atau kombinasi berbagai metode yang dipakai untuk mengkaji fenomena yang saling terkait dari sudut pandang dan perspektif yang berbeda. Sampai saat ini, konsep Denkin ini dipakai oleh para peneliti kualitatif di berbagai bidang. Menurutnya, triangulasi meliputi empat hal, yaitu: (1)  triangulasi metode, (2) triangulasi antar-peneliti (jika penelitian dilakukan dengan kelompok), (3) triangulasi sumber data, dan (4) triangulasi teori. Berikut penjelasannya.

1. Triangulasi metode dilakukan dengan cara membandingkan informasi atau data  dengan cara yang berdeda. Sebagaimana dikenal, dalam penelitian kualitatif peneliti menggunakan metode wawancara, obervasi, dan survei. Untuk memperoleh kebenaran informasi yang handal dan gambaran yang utuh mengenai informasi tertentu, peneliti bisa menggunakan metode wawancara bebas dan wawancara terstruktur. Atau, peneliti menggunakan wawancara dan obervasi atau pengamatan untuk mengecek kebenarannya. Selain itu, peneliti juga bisa menggunakan informan yang berbeda untuk mengecek kebenaran informasi tersebut. Melalui berbagai perspektif atau pandangan diharapkan diperoleh hasil yang mendekati kebenaran. Karena itu, triangulasi tahap ini dilakukan jika data atau informasi yang diperoleh dari subjek atau informan penelitian diragukan kebenarannya. Dengan demikian, jika data itu sudah jelas, misalnya berupa teks atau naskah/transkrip film, novel dan sejenisnya, triangulasi tidak perlu dilakukan. Namun demikian, triangulasi aspek lainnya tetap dilakukan.

2. Triangulasi antar-peneliti dilakukan dengan cara menggunakan lebih dari satu orang dalam pengumpulan dan analisis data. Teknik ini diakui memperkaya khasanah pengetahuan mengenai informasi yang digali dari subjek penelitian. Tetapi perlu diperhatikan bahwa orang yang diajak menggali data itu harus yang telah memiliki pengalaman penelitian dan  bebas dari konflik kepentingan agar tidak justru merugikan peneliti dan melahirkan bias baru dari triangulasi.

3. Triangulasi sumber data adalah menggali kebenaran informai tertentu melalui berbagai metode dan sumber perolehan data. Misalnya, selain melalui wawancara dan observasi, peneliti bisa menggunakan observasi terlibat (participant obervation), dokumen tertulis, arsif, dokumen sejarah, catatan resmi, catatan atau tulisan  pribadi dan gambar atau foto. Tentu masing-masing cara  itu akan menghasilkan bukti atau data yang berbeda, yang selanjutnya akan memberikan pandangan (insights) yang berbeda pula mengenai fenomena yang diteliti. Berbagai pandangan itu akan melahirkan keluasan pengetahuan untuk memperoleh kebenaran handal.

4. Terakhir adalah triangulasi teori. Hasil akhir penelitian kualitatif berupa sebuah rumusan informasi atau thesis statement.  Informasi tersebut selanjutnya dibandingkan dengan perspektif teori yang televan untuk menghindari bias individual peneliti atas temuan atau kesimpulan yang dihasilkan. Selain itu, triangulasi teori dapat meningkatkan kedalaman pemahaman asalkan peneliti mampu  menggali pengetahuan teoretik secara mendalam atas hasil analisis data yang telah diperoleh. Diakui tahap ini paling sulit sebab peneliti dituntut memiliki expert judgement ketika membandingkan temuannya dengan perspektif tertentu, lebih-lebih jika  perbandingannya  menunjukkan hasil yang jauh berbeda.

Mengakhiri tulisan ini, saya ingin menyatakan bahwa triangulasi menjadi sangat penting dalam penelitian kualitatif, kendati pasti menambah waktu dan biaya seta tenaga. Tetapi harus diakui bahwa triangulasi dapat meningkatkan kedalaman pemahaman peneliti baik mengenai fenomena yang diteliti maupun konteks di mana fenomena itu muncul. Bagaimana pun, pemahaman yang mendalam (deep understanding) atas fenomena yang diteliti  merupakan nilai yang harus diperjuangkan oleh setiap peneliti kualitatif. Sebab, penelitian kualitatif lahir untuk menangkap arti (meaning) atau memahami gejala, peristiwa, fakta, kejadian, realitas atau masalah tertentu mengenai peristiwa sosial dan kemanusiaan dengan kompleksitasnya secara mendalam, dan bukan untuk  menjelaskan (to explain) hubungan antar-variabel atau membuktikan hubungan sebab akibat atau korelasi dari suatu masalah tertentu. Kedalaman pemahaman akan diperoleh hanya jika data cukup kaya, dan berbagai perspektif digunakan untuk memotret sesuatu fokus masalah secara komprehensif. Karena itu, memahami dan menjelaskan jelas merupakan dua wilayah yang jauh berbeda. Selamat mencoba!

Sumber: https://www.uin-malang.ac.id/r/101001/triangulasi-dalam-penelitian-kualitatif.html

Integrasi Empat Pilar UNESCO dalam Sistem Pendidikan Indonesia

Oleh: Muhammad Aqshadigrama

Pendidikan merupakan kebutuhan sepanjang hayat. Setiap manusia membutuhkan pendidikan, sampai kapan dan dimanapun ia berada. Pendidikan sangat penting, artinya tanpa pendidikan manusia akan sulit berkembang dan bahkan akan terbelakang. Dengan demikian pendidikan harus betul-betul diarahkan untuk menghasilkan manusia yang berkualitas dan berdaya saing.

Tujuan pendidikan yang diharapkan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman, bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, sehat jasmani rohani, mandiri. Serta tertanam kuat rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.

Pendidikan harus mampu mempersiapkan warga negara agar dapat berperan aktif dalam seluruh lapangan kehidupan, cerdas, aktif, kreatif, terampil, jujur, disiplin, bermoral tinggi, demokratis, dan toleran yang mengutamakan persatuan dan bukan perpecahan.

Mempertimbangkan pendidikan anak-anak sama dengan mempersiapkan generasi yang akan datang. Hati seorang anak bagaikan sebuah plat fotografik yang tidak bergambar apa-apa dan siap merefleksikan semua yang ditampakkan padanya.

UNESCO adalah organisasi PBB yang bergerak dalam bidang pendidikan dan kebudayaan telah mencanangkan empat pilar pendidikan sekarang dan masa depan, yang perlu dikembangkan oleh seluruh lembaga pendidikan khususnya lembaga pendidikan formal. Empat pilar tersebut ialah: (1) learning to Know (belajar untuk mengetahui), (2) learning to do (belajar untuk terampil melakukan sesuatu), (3) learning to be (belajar untuk menjadi seseorang), dan (4) learning to live together (belajar untuk menjalani kehidupan bersama).

Dalam rangka merealisasikan learning to know, tenaga pendidik seyogyanya berfungsi sebagai fasilitator yang dapat menuntun atau mengarahkan para peserta didik dalam memecahkan suatu masalahnya. Di samping itu, seorang tenaga pendidik dituntut untuk dapat berperan sebagai teman sejawat dalam berdialog dengan peserta didik dalam mengembangkan penguasaan pengetahuan maupun ilmu tertentu.

Learning to do, akan bisa berjalan jika lembaga pendidikan memfasilitasi para peserta didik untuk mengaktualisasikan keterampilan yang dimilikinya, serta bakat dan minatnya. Walaupun bakat dan minat anak banyak dipengaruhi unsur keturunan namun tumbuh berkembangnya bakat dan minat tergantung pada lingkungannya. Keterampilan dapat digunakan untuk menopang kehidupan seseorang bahkan keterampilan lebih dominan daripada penguasaan pengetahuan dalam mendukung keberhasilan kehidupan individu kedepannya.

Learning to be erat hubungannya dengan bakat dan minat, perkembangan fisik dan kejiwaan, tipologi pribadi anak serta kondisi lingkungannya. Bagi anak yang aktif, proses pengembangan diri akan berjalan bila diberi kesempatan cukup luas untuk berkreasi. Sebaliknya bagi anak yang pasif, peran tenaga pendidik sebagai pengarah sekaligus fasilitator sangat dibutuhkan untuk pengembangan diri peserta didik secara maksimal.

Learning to live together, peserta didik sudah harus dibiasakan untuk hidup bersama, saling menghargai, terbuka, memberi dan menerima, perlu ditumbuhkembangkan. Kondisi seperti ini memungkinkan terjadinya proses belajar untuk menjalani kehidupan bersama.

Penerapan keempat pilar ini dirasakan sangat penting dalam menghadapi era globalisasi dan era industri 4.0. Perlu pemupukkan sikap saling pengertian antar ras, suku, dan agama agar tidak menimbulkan berbagai pertentangan yang bersumber pada hal-hal tersebut.

Pendidikan yang diterapkan juga harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat atau kebutuhan dari daerah tempat dilangsungkan pendidikan. Sehingga unsur muatan lokal yang dikembangkan harus sesuai dengan kebutuhan daerah setempat.

Menyikapi kecenderungan merosotnya pencapaian hasil pendidikan selama ini, langkah antisipatif yang perlu ditempuh ialah mengupayakan peningkatan partisipasi masyarakat terhadap dunia pendidikan, peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan, serta perbaikan manajemen di setiap jenjang, jalur, dan jenis pendidikan.

Dalam meningkatkan mutu pendidikan di setiap daerah, seyogyanya dikaji lebih dulu kondisi obyektif dari unsur-unsur yang terkait pada mutu pendidikan, pertama kondisi para tenaga pendidik. Kedua, mengenai kurikulum dan bahan belajar yang digunakan oleh pendidik dan peserta didik. Ketiga, memperhatikan rujukan sumber belajar. Keempat, kondisi sarana pendukung dan prasarana belajar yang ada. Terakhir, menganai kondisi iklim belajar yang ada di setiap daerah.

Mutu pendidikan dapat juga ditingkatkan dengan melakukan serangkaian pembenahan terhadap segala persoalan yang dihadapi. Pembenahan itu dapat berupa pembenahan terhadap kurikulum pendidikan, yang dapat memberikan kemampuan dan keterampilan dasar minimal, menerapkan konsep belajar tuntas dan membangkitkan sikap kreatif, demokratis, dan mandiri. Perlu diidentifikasi unsur-unsur yang ada di daerah yang dapat dimanfaatkan untuk memfasilitasi proses peningkatan mutu pendidikan, selain pemerintah daerah, misalnya kelompok pakar, paguyuban mahasiswa, LSM daerah, perguruan tinggi, dan sanggar belajar.

Dengan demikian, tuntutan pendidikan sekarang dan masa depan harus diarahkan pada peningkatan kualitas kemampuan intelektual dan profesionalitas serta sikap, kepribadian dan moral manusia Indonesia pada umumnya. Dengan kemampuan dan sikap manusia Indonesia yang demikian diharapkan dapat mendudukkan diri secara bermartabat di masyarakat dunia dan di era globalisasi ini yang hampir semua sektor tergantikan oleh teknologi mesin.

*Penulis  saat ini menjadi Mahasiswa S1 Ilmu Komunikasi Universitas Tadulako, sekaligus sebagai mantan Wakil Ketua Umum Forum Anak Daerah Sulawesi Tengah periode 2016-2018. Prestasi Juara 3 Lomba Esai Simposium Gizi Nasional dan Juara 2 Lomba Penulisan Kebangsaan tingkat Nasional.

Sumber: https://radarjogja.jawapos.com/opini/2018/12/11/integrasi-empat-pilar-unesco-dalam-sistem-pendidikan-indonesia/

Romantisme Jean-Jacques Rousseau dalam Pendidikan Indonesia

 Penulis: Ika Desi Budiarti

Jean-Jacques Rousseau lahir di Jenewa 28 Juni 1712. Beliau adalah tokoh filosofi besar, penulis dan komposer pada abad pencerahan. Pemikirannya menjadi dasar teori pendidikan modern. Sebagai seorang filsuf dan pendidik Jean-Jacques Rousseau mengemukakan ide-ide yang berkaitan pendidikan yang dikenal dengan paham romantis. Ide-ide tersebut di antaranya menyatakan bahwa tujuan dari pendidikan adalah untuk meningkatkan kemampuan siswa; pendidikan harus berlangsung dalam dunia nyata; dan kelulusan, persaingan, serta penilaian menghambat perkembangan pribadi siswa.

Paham romantis mengungkapkan bahwa pada hakekatnya manusia terlahir sebagai individu yang baik, jujur, dan penuh kasih. Jika ternyata mereka jahat, tidak jujur, dan penuh kebencian, itu karena pendidikan dan lingkungan masyarakat telah menyesatkan mereka. Tujuan utama pendidikan adalah untuk membantu siswa tumbuh secara alami di bawah bimbingan yang baik. Pendidikan bukannya mempersiapkan siswa dalam bidang perekonomian, politik, ataupun sosial, akan tetapi lebih menekankan pada pertumbuhan pribadi siswa lengkap dengan kebahagian dan kebebasan individualnya. Pendidikan mengembangkan potensi yang dimiliki siswa. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapakan Rousseau, yaitu bahwa “pendidikan lebih mengembangkan kemampuan yang ada diri pada individu itu sendiri tidak terhadap apa yang tidak ada bagian dari dirinya”. Lebih lanjut diungkapkan pula bahwa “pendidikan bukanlah untuk bisnis, atau mengajarkan berbagai ilmu-ilmu, tetapi untuk memberi rasa bagi siswa, melalui metode pembelajaran yang membuatnya merasa lebih dewasa”.

Pelaksanaan pembelajaran menurut Rousseau akan bermakna jika merupakan hasil dari pengalaman atau refleksi pengalaman pribadi secara langsung. Siswa secara alami memiliki rasa ingin tahu dan akan berusaha untuk mencari tahu jawabannya melalui bantuan campur tangan orang dewasa. Seorang guru harus mendorong mereka untuk bertanya dan memecahkan masalah yang mereka hadapi. Lingkungan pendidikan tempat proses pembelajaran berlangsung adalah mencakup siswa, masyarakat, dan lingkungan sekitarnya. Lingkungan geografis akan mengarahkan siswa dalam perkembangan moral dan intelektual. Perkembangan tersebut akan dimulai dari lokal tempat tinggal untuk mengetahui seperti apa hidup ini. Contohnya seorang siswa harus berada diantara orang miskin sehingga penderitaan dan keluhan akan membuatnya merasakan menderita dan ia akan belajar dari pengalaman tersebut.

Berbicara mengenai kelulusan, persaingan, dan penilaian, menurut Rousseau ini akan menghambat perkembangan pribadi individu. Tingkat kelulusan siswa yang diukur berdasarkan standar-standar eksternal tidak menhormati individualitas yang dikemukakan paham romatis. Penilaian yang diberikan guru kepada siswa menunjukan seberapa banyak pengetahuan yang mereka miliki. Hal ini mendorong siswa untuk mengukur diri dan membandingkan dengan siswa lain daripada mengikuti keinginan sendiri. Penilaian hanya menunjukan bahwa seseorang memuaskan dan memenuhi standar dibandingkan dengan yang lain, mereka tidak mempelajari apa yang seharusnya dipelajari untuk mereka sendiri.

Sepintas paham romatis sama dengan paham konstruktivis. Akan tetapi  jika konstruktivisme menekankan pada proses pembentukan pengetahuan secara individual  yang tidak bisa diganggu gugat oleh pihak luar, maka romatisme menekankan pada  esensi pendidikan sebagai sarana pertumbuhan siswa yang bahagia dan memiliki kebebasan individual dalam memilih apapun. Teori yang dikemukakan oleh paham romantis memberikan gambaran bagaimana seharusnya seorang guru membimbing siswa yang pada dasarnya terlahir baik, dalam hal ini pendidikan diharapkan mampu memberikan pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan siswa melalui cara yang lebih leluasa tidak terikat oleh adanya aturan dan tentu saja dengan penuh cinta sehingga siswa dapat tumbuh secara alami dengan bahagia. Romantisme merupakan bentuk pendidikan yang sangat menghargai perbedaan individu. Pendidikan berlangsung secara alami dari potensi yang dimiliki oleh siswa. Paham romantis memberikan wawasan yang lebih luas bagi para guru sehingga dalam proses pembelajaran guru dapat mengeksplorasi kemampuan siswa sesuai dengan kebutuhan siswa. Siswa harus tumbuh bebas dan bahagia tanpa harus menjalani penyangkalan dari siapapun.

Dilihat dari sudut pandang makro pandangan Rousseau memberikan kontribusi bagi pendidikan Indonesia dalam hal kebebasan siswa untuk memepelajari apa yang ingin dipelajarinya. Salah satu langkah nyata yang diambil pemerintah yaitu dengan mendirikan berbagai sekolah menengah kejuruan. Jadi siswa dapat memepelajari apa yang ingin dia pelajari walaupun masih harus dibatasi aturan-aturan tertentu. Sedangkan jika dilihat dari sudut pandang mikro pandangan Rousseau bahwa pendidikan harus berlangsung dalam dunia nyata sejalan dengan paham konstruktivisme, bahawa pembelajaran akan bermakna jika siswa mengalaminya sendiri. Konsep ini sudah banyak dikembangakan oleh tenaga pendidik Indonesia. Guru kita sudah banya yang beralih dari pembalajaran metode lama (ceramah) ke pembalajaran yang melibatkan siswa secara langsung dalam prosesnya.

Dari ulasan diatas pandangan Rousseau tidak dapat seluruhnya dikembangkan di Indonesia. Contohnya saja pendapatnya tentang kelulusan dan penilaian. Sampai saat ini kita masih menganut sistem penilaian yang terpusat (UN), walaupun dalam proses pendidikan sudah diberikan otonomi kepada organisasi pendidikan terkecil untuk mengaturnya (KTSP).  Jika ditilik dan dipahami lebih dalam pandangan Rousseau benar-benar relevan bagi pola pikir modern yang lebih mementingkan kebebasan individual, sehingga tepat berkembang di dunia barat yang tingkat individualitasnya sangat tinggi. Akan tetapi bagi kita yang hidup di dunia timur, dengan tingkat toleransi dan hubungan kemasyarakatan yang kental membuat pandangan ini tidak dapat berkembang secara optimal, dan membutuhkan adaptasi di banyak hal. Adanya perbedaan adat istiadat, kebudayaan, dan kebiasaan juga membuat pandangan Rousseau tidak dapat diadopsi secara utuh. Untuk dapat mengadopsi paham romantis tentu saja kita mesti merubah secara keseluruhan baik itu sistem pendidikan, yang mana untuk melakukan hal itu tentu butuh waktu yang panjang dan tidak semua pihak dapat menerima begitu saja terhadap adanya perubahan.

Review Artikel Jurnal dan Cara Melakukannya

Pandemi Covid-19 membuat beberapa kampus mengeluarkan kebijakan penggantian penelitian yang megharuskan terjun ke lapangan dengan penelitian dengan metode studi literatur atau review jurnal. Bagi mahasiswa S2 dan S3 rasanya kegiatan review jurnal terdengar tidak asing, namun bagi beberapa mahasiswa S1 kegiatan review jurnal masih terasa asing. Terlebih memang tidak semua kampus atau dosen memberikan tugas dalam bentuk review jurnal kepada mahasiswa S1. Pada beberapa mahasiswa khususnya mahasiswa S1 masih bingung atau bahkan tidak mengerti mengenai konsep dan cara melakukan review jurnal. Pengertian review jurnal sendiri secara umum merupakan kegiatan memberi ulasan terhadap sebuah artikel jurnal, merangkum dan mengidentifikasi kelebihan dan kekurangan artikel tersebut.

Agar lebih jelas pada artikel kali ini akan dijelaskan secara ringkas mengenai pengertian review jurnal dan bagaimana cara melakukannya.

Pengertian Review Jurnal

Review dalam bahasa indonesia berarti tinjauan atau meninjau. Review juga dapat berarti ulasan atau mengulas. Kegiatan review jurnal dapat diartikan sebagai sebuah kegiatan menulis untuk memberikan ulasan/tinjauan pada sebuah artikel jurnal agar diketahui kelebihan, kekurangan, dan kualitasnya. Secara umum, review jurnal bertujuan untuk memberikan informasi, gambaran, ide/gagasan tentang artikel jurnal yang telah dibuat.

Writting Bee menjelaskan bahwa, review artikel merupakan teks yang memuat ringkasan penelitian tentang topik tertentu. Dapat juga diartikan sebagai rangkuman sekaliguas evaluasi dari tulisan orang lain. Kegiatan review jurnal bertujuan untuk memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai topik tertentu. Dengan adanya review dari sebuah artikel diharapkan pembaca dapat terbantu dalam memahami topik tanpa membaca seluruh isi buku.

Evaluasi logis dari tema utama, argumen pendukung dan implikasinya terhadap dokumen asli adalah isi dari sebuah review. Artikel hasil kegiatan review, tidak menyediakan penelitian baru sebab review artikel merupakan rangkuman dari dokumen asli. Namun, sebagai seorang yang me-review, kamu harus mempunyai cara untuk menanggapi penelitian yang ditinjau/diulas. Dalam kegiatan me-review, kamu akan mengevaluasi artikel lalu mengembangkan respon terhadap teori dan ide/gagasan yang digunakan dalam artikel tersebut.

The Australian International University menyebut ulasan sebuah artikel dapat terbantu dengan mengajukan beberapa pertanyaan, yaitu:

  • 1.     Tujuan: Apa yang dilakukan dalam artikel ini?
  • 2.     Teori: Apakah ada kerangka teori eksplisit? Jika tidak, adakah asumsi teoretis yang penting?
  • 3.     Konsep: Apa konsep sentralnya? Apakah konsep tersebut didefinisikan dengan jelas?
  • 4.     Argumen: Apa argumen utamanya? Apakah ada hipotesis khusus?
  • 5.     Metode: Metode apa yang digunakan untuk menguji hipotesis tersebut?
  • 6.     Bukti: Apakah buktinya disediakan? Seberapa memadai bukti itu?
  • 7.     Nilai: Apakah posisi nilai jelas atau tersirat?
  • 8.     Sastra: Bagaimana karya ini cocok dengan literatur yang lebih luas?
  • 9.     Kontribusi: Seberapa baik penelitian memajukan pengetahuan kita tentang subjek?
  • 10.  Gaya: Seberapa jelas bahasa/gaya/ekspresi penulis?
  • 11.  Kesimpulan: Penilaian keseluruhan secara singkat

Cara Melakukan Review Jurnal

            Untuk memulai kegiatan review jurnal, bacalah secara sekilas artikel yang akan diulas. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui organisasi sebuah artikel, baca beberapa kali lalu buatlah semacam catatan atau komentar sepanjang proses pembacaan. Lebih lanjut, ada beberapa langkah yang dapat diterapkan dalam mereview sebua artikel jurnal, yaitu:

1. Membaca Naskah Secara Aktif

        Beberapa langkah yang harus diperhatikan dalam membaca naskah, Pertama, Jika artikel hasil review yang kamu lakukan akan diterbitkan di sebuah jurnal, pahami panduan gaya publikasinya, periksa format dan pedoman gaya jurnal yang dituju tersebut. Hal ini akan membantu kamu terkait bagaimana mengevaluasi dan menyusun ulasan.

Kedua, membaca artikel untuk mengetahui organisasinya, lihatlah artikel jurnal yang akan direview dan ciba pahami logikanya. Bacalah judul, abstrak, dan heading, untuk mengetahui bagaimana susunan artikel. Lakukan skimming awal, untuk mengidentifikasi pertanyaan atau permasalahan yang dibahas di dalam artikel.

Ketiga, setelah selesai membaca sekilas, bacalah artikel secara keseluruhan untuk membangun kesan keseluruhan, identifikasi tesis artikel, argumen utama, dan garis bawahi di posisi yang dinyatakan dalam pendahuluan dan kesimpulan.

Keempat, teliti kembali bagian artikel bagian demi bagian. Gunakan margin tepi naskah untuk menulis catatan dan komentar.  Ketika proses membaca secara mendalam, analisis seberapa baik artikel tersebut menyelesaikan masalah utamanya. Jika perlu, tanyakan kepada diri kamu sendiri mengenai isi artikel, misalnya “apakah penelitian ini penting? Apakah penelitian ini memberikan kontribusi pada bidang yang diteliti?”. Di tahap ini, berikan catatan terkait setiap inkonsistensi terminologis, masalah organisasi, saltik, dan masalah format.

2. Mengevaluasi Artikel

            Kiat mengevaluasi artikel yang pertama adalah putuskan seberapa baik abstrak dan pengantar memetakan artikel. Tentukan seberapa baik abstrak merangkum artikel, masalah yang dibahas, teknik, hasil dan signifikansinya, pastikan pendahuluan memetakan struktur artikel, apakah artikel itu menggunakan dasar yang jelas atau tidak. pendahuluan yang baik memberikan kamu  gagasan yang jelas mengenai apa yang diharapkan  di bagian selanjutnya. Bisa jadi menyatakan masalah dan hipotesis, jelaskan metode penelitian secara singkat, lalu tentukan apakah percobaan membuktikan atau membantah hipotesis penelitian.

Kedua, evaluasi referensi/tinjauan pustaka yang digunakan di dalam artikel. Pastikan sumber rujukan yang digunakan berwibawa, seberapa baik tinjauan pustaka meringkas sumber, dan apakah sumber menempatkan artikel di bidang penelitian atau hanya menyebutkan nama-nama terkenal.

Ketiga, periksa metode penelitian yang digunakan. Pastikan metode yang digunakan merupakan metode yang tepat dan masuk akal untuk menyelesaikan masalah. Bandingkan dengan cara lain yang mungkin dapat digunakan untuk melakukan percobaan atau menyusun penyelidikan, catat setiap perbaikan yang dilakukan penulis.

Keempat, menilai bagaimana artikel menyajikan data dan hasil. Tentukan apakah tabel, gambar, diagram, dan alat bantu visual lainnya secara efektif mengatur informasi. Pastikan bagian hasil dan diskusi data dengan jelas merangkum dan menginterpretasikan data. Pastikan tabel dan gambar yang dicantumkan sesuai dan tidak berlebihan.

Kelima, mengevaluasi bukti dan analisis non-ilmiah. Khusus untuk artikel non-ilmiah, tentukan seberapa baik artikel menyajikan bukti yang mendukung argumennya. Pastikan bukti yang digunakan relevan dan secara meyakinkan menganalisis dan menafsirkan bukti.

Keenam, nilai gaya tulisan. Gaya penulisan artikel haruslah singkat, padat, dan benar. Tanyakan pertanyaan-pertanyaan berikut sebagai upaya mengevaluasi gaya penulisan kamu.

  • 1.     Apakah bahasanya jelas dan tidak ambigu, atau apakah jargon yang berlebihan mengganggu kemampuannya untuk membuat argumen?
  • 2.     Apakah ada tulisan yang terlalu bertele-tele? Bisakah ada ide yang dinyatakan dengan cara yang lebih sederhana?
  • 3.     Apakah tata bahasa, tanda baca, dan terminologi yang digunakan sudah benar?

3. Menulis Ulasan

            Tulislah ulasan kamu dengan tahapan berikut:

Pertama, garis besar ulasan kamu. Ambil kembali catatan dalam evaluasi bagian demi bagian. Buatlah semacam tesis, lalu uraikan bagaimana kamu bermaksud mendukung tesis dalam tubuh ulasan kamu. Ungkapkan contoh spesifik yang merujuk pada kekuatan dan kelemahan yang ada dalam catatan evaluasi kamu. Tesis dan bukti haruslah konstruktif dan bijaksana. Tunjukkan kekuatan maupun kelemahan, dan usulkan solusi alternatif lain alih-alih hanya berfokus pada kelemahan.

Kedua, tulis draft pertama ulasan kamu. Setelah melakukan tahap pertama selanjutnya tulis ulasan kamu. Tulislah ulasan berdasarkan pedoman publikasi kamu, jika belum ada biasanya bisa ditulis dengan mengikuti panduan umum: pendahuluan merangkum artikel dan menyatakan tesis, bandan memberikan contoh spesifik dari teks yang mendukung tesis kamu, dan kesimpulan yang merangkum ulasan kamu dengan menyatakan kembali tesis dan menawarkan saran untuk penelitian selanjutnya.

Ketiga, perbaiki draft ulasan kamu sebelum mengirimkannya. Sebelum mengirimkan naskah ulasan periksa kembali naskah ulasan artikel kamu. Pastikan tidak ada kesalahan pengetikan, tata bahasa, dan tanda baca. Baca kembali ulasan kamu dan posisikan kamu sebagai orang lain yang sedang membaca. Nilailah sendiri, naskah ulasan kamu, apakah kritiknya adil dan seimbang? Pastikan tulisanmu logis, ringkas, dan jelas. Hindari penulisan yang bertele—tele, jika perlu minta teman untuk membaca naskah ulasan artikel kamu dan memberi penilaian.

Sekian artikel mengenai review artikel jurnal dan cara melakukannya. Artikel ini merangkum dari beberapa sumber, baik internet maupun buku. Semoga dapat menambah wawasan dan manfaat!

Sumber Artikel: https://ranahresearch.com/ranah-research-pengertian-review-jurnal/

Ngaji Filsafat 2: 3 Pilar Penyangga Filsafat Ilmu

Filsafat ilmu adalah merupakan bagian dari filsafat pengetahuan yang secara spisifik mengkaji hakikat ilmu. Ilmu merupakan cabang pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu. Meskipun secara metodologis ilmu tidak membedakan antara ilmu alam dengan ilmu-ilmu sosial, namun karena permasalahan- permasalahan teknis yang bersifat khas, maka filsafat ilmu ini sering dibagi menjadi filsafat ilmu- ilmu  alam  dan filsafat ilmu-ilmu sosial. Pembagian ini lebih merupakan pembatasan masing- masing bidang yang ditelaah, yaitu ilmu-ilmu alam dengan ilmu-ilmu sosial dan tidak mencirikan cabang filsafat yang otonom. Ilmu memang berbeda dengan  pengetahuan-pengetahuan secara filsafat, namun tidak terdapat perbedaan yang  prinsipil antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial, meskipun keduanya mempunyai ciri-ciri yang sama.

Filsafat ilmu memberikan spirit bagi perkembangan dan kemajuan ilmu dan sekaligus nilai-nilai moral yang terkandung pada setiap ilmu, baik pada tatanan ontologis, epistimologis, maupun aksiologis.